JAKARTA, penanuswantara.online – Badan Gizi Nasional (BGN) memaparkan secara detail bagaimana pembagian anggaran Rp15 ribu per anak yang digunakan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Penjelasan ini diberikan untuk menjawab kritik publik terkait kualitas menu yang dinilai kurang maksimal.
Dalam konferensi pers di kantor BGN, Jakarta Pusat, Jumat (26/9/2025), Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, menjelaskan bahwa dari total anggaran tersebut, Rp2.000 dialokasikan untuk biaya sewa usaha.
"Biaya sewa ini mencakup sewa gedung, lahan, peralatan dapur, hingga peralatan distribusi seperti ompreng dan perlengkapan lainnya. Ini bukan keuntungan bagi mitra, tapi bagian dari pengembalian investasi," ujar Nanik, dikutip dari 20detik.
Ia mencontohkan, untuk membangun dapur seluas 400 meter persegi lengkap dengan peralatannya, dibutuhkan modal sekitar Rp3-4 miliar.
"Kalau jumlah MBG yang dikelola sedikit, pengembalian modal bisa memakan waktu hingga lima tahun," jelasnya.
Rp3.000 untuk Operasional, Rp10.000 untuk Bahan Baku
Lebih lanjut, Nanik menyebut Rp3.000 digunakan untuk biaya operasional harian, seperti gaji karyawan, tagihan listrik dan internet, pembelian gas, bahan bakar kendaraan, hingga biaya sewa transportasi untuk distribusi makanan.
Sementara itu, Rp10.000 sisanya sepenuhnya dipakai untuk belanja bahan baku makanan.
Namun, ia mengakui beberapa mitra terkadang hanya mengalokasikan Rp7.000-Rp8.000 untuk bahan baku karena khawatir kekurangan anggaran.
"Sering kali mereka takut belanja berlebih. Misalnya, jika setiap hari membeli susu, anggaran akan cepat habis. Jadi mereka mengatur jadwal, misalnya memberikan susu hanya pada hari Rabu dan Jumat," ungkap Nanik.
Fokus pada Produk Lokal, Stop Produk Pabrikan
Dalam kesempatan yang sama, Nanik menegaskan bahwa BGN akan menghentikan penggunaan produk pabrikan dalam menu MBG, terutama roti dan produk olahan industri besar.
"Kami menjalankan arahan Presiden bahwa dapur MBG ini harus memberdayakan ekonomi lokal, bukan memperkaya perusahaan besar pemilik pabrik roti," tegasnya.
Menurutnya, produk yang disajikan ke anak-anak, seperti roti dan makanan ringan, ke depan akan diproduksi oleh pelaku usaha lokal, termasuk ibu-ibu rumah tangga yang terlibat dalam program ini.
Sebagai pengecualian, BGN masih memperbolehkan penggunaan susu kemasan jika di wilayah dapur MBG tidak tersedia peternakan sapi perah.
"Untuk sementara, susu kemasan kami izinkan hanya jika tidak ada sumber susu segar di daerah tersebut. Tapi untuk produk lain, penggunaan barang pabrikan tidak akan kami toleransi," tegas Nanik.
Latar Belakang Kritik Publik
Program MBG sempat menuai sorotan setelah beberapa menu yang disajikan dinilai kurang variatif dan tidak sesuai standar gizi.
Sebelumnya, sejumlah pihak mempertanyakan efektivitas anggaran Rp15 ribu per anak per hari, terutama setelah muncul kasus keracunan massal yang diduga berasal dari makanan MBG di beberapa daerah.
Dengan pemaparan ini, BGN berharap publik memahami bahwa anggaran tersebut tidak sepenuhnya untuk bahan makanan, melainkan juga mencakup biaya operasional dan infrastruktur.
"Yang terpenting, kami terus berupaya agar kualitas menu meningkat sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar dapur MBG," pungkas Nanik.(red.al)
Posting Komentar