Nganjuk, 1 Desember 2025, penanuswantara.online – Upaya tim media untuk melakukan kunjungan ringan dan klarifikasi kerja sama ke SMPN 2 Nganjuk pada Senin siang justru berbuah pengalaman kurang menyenangkan. Padahal, tim media menjelaskan bahwa kedatangan mereka sekadar mampir setelah urusan resmi di Kominfo Nganjuk, tanpa maksud meminta uang ataupun melakukan permintaan di luar konteks profesional. Namun tanggapan Kepala Sekolah, Ani Sutiani, dinilai jauh dari standar etika komunikasi publik.
Tim media menjelaskan bahwa mereka diterima masuk ruangan dengan baik, tetapi respons lisan dari pimpinan sekolah justru menjadi titik masalah. Dengan nada bicara tinggi, disertai gesture berdiri seolah menghardik, Kepala Sekolah menyampaikan bahwa “media hanya bisa ditemui pada hari Jumat, bukan hari ini”. Suara yang meninggi tersebut bahkan terdengar oleh tamu lain di luar ruangan sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pihak media.
Peristiwa itu menimbulkan pertanyaan tajam: apakah sopan santun seorang pimpinan lembaga pendidikan kepada masyarakat—termasuk media—sudah sedemikian runtuhnya?
Media yang hadir menegaskan bahwa mereka memahami bahwa jadwal kunjungan media biasanya Jumat. Namun justru setiap hari Jumat sebelumnya, keberadaan Kepala Sekolah kerap tidak dapat ditemui. Resepsionis sekolah pun berulang kali menyebut alasan yang sama: sedang tugas luar, tidak berada di sekolah, atau ada urusan lain. Kondisi tersebut membuat tim media yang datang jauh dari Kediri merasa bahwa memanfaatkan momen kunjungan ke Nganjuk hari ini adalah langkah efisien.
Sayangnya, sikap penerimaan yang diberikan justru dianggap memperlihatkan pola pikir yang keliru: media dianggap sebelah mata, dianggap hanya datang untuk “meminta-minta”, dan seolah-olah kedatangan jurnalis adalah gangguan, bukan mitra check and balance yang diakui undang-undang.
Sebagai institusi publik, sekolah mestinya memahami bahwa media adalah pilar demokrasi yang bekerja memastikan keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas. Publik berhak mempertanyakan jika ada pimpinan lembaga pendidikan yang tidak dapat menjaga etika komunikasi, terlebih kepada pihak yang memiliki mandat sosial untuk menyampaikan informasi yang benar.
Kehadiran media bukan ancaman; justru salah satu sarana memperluas kepercayaan publik. Ketidaksiapan dalam merespons, apalagi dengan nada merendahkan, dapat menimbulkan kesan bahwa sekolah anti-kritik, anti-transparansi, atau bahkan alergi terhadap pengawasan publik.
Insiden ini menjadi refleksi penting bagi pejabat publik manapun: jabatan bukan alasan untuk berbicara tinggi, apalagi ketika masyarakat hanya meminta klarifikasi. Apalagi jika sampai ada kesan “dufaan” atau prasangka buruk terhadap tamu yang datang secara baik-baik.
Pada akhirnya, publik berharap para pemimpin lembaga pendidikan mampu menunjukkan keteladanan, bukan hanya dalam kurikulum, tetapi juga dalam sikap nyata. Sebab sekolah adalah rumah nilai, dan nilai sopan santun semestinya dimulai dari pemimpinnya.
PENULIS : AL

Posting Komentar