Yalimo, Papua Pegunungan, penanuswantara.online – Kerusuhan kembali mengguncang Kabupaten Yalimo, Selasa (16/9/2025). Insiden ini diduga dipicu oleh ucapan bernuansa rasis antar-pelajar SMA yang kemudian berkembang menjadi konflik meluas.
Menurut laporan Polda Papua, lebih dari 30 kios dan rumah warga dibakar massa di Distrik Elelim. Tak hanya itu, enam rumah dinas, sebuah mes perwira, dan satu bangunan SMA juga mengalami kerusakan.
“Sebanyak 23 orang terluka, termasuk aparat TNI-Polri yang terkena panah. Korban kini dirawat di RSUD Er-Dabi Yalimo, RSUD Wamena, dan RS Bhayangkara Jayapura,” ujar Kabid Humas Polda Papua, Kombes Cahyo Sukarnito, Rabu (17/9).
Kerusuhan juga memaksa lebih dari 200 warga non-Papua mengungsi ke Kota Wamena, sementara sebagian lain masih bertahan di Yalimo. Sejumlah pengungsi mengaku hanya bisa menyelamatkan diri tanpa membawa barang-barang.
Kisah Pengungsi
Camila, seorang perantau asal Jawa, menceritakan ia harus berlari keluar rumah bersama bayinya yang berusia satu tahun. “Kami hanya bawa badan saja. Rumah sudah terbakar ketika saya keluar lewat pintu belakang,” katanya dengan suara bergetar.
Hingga Rabu siang, para pengungsi mengaku belum mendapat bantuan logistik dari pemerintah. Kebutuhan mendesak, terutama bagi bayi dan anak-anak, masih ditutupi dari solidaritas warga sekitar.
Ujaran Rasis Jadi Pemicu
Kapolres Yalimo, Kompol Joni Samonsabra, menjelaskan kericuhan bermula dari perkelahian antar-siswa setelah seorang pelajar berinisial AB diduga mengeluarkan ucapan rasis di kelas. Perselisihan yang gagal dimediasi sekolah kemudian memicu amarah warga setempat.
“Massa kemudian menyerang kios milik keluarga siswa AB dan merembet ke bangunan lain, termasuk fasilitas aparat,” kata Joni.
Versi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) juga menyebut kerusuhan murni reaksi spontan akibat penghinaan bernuansa rasis terhadap orang asli Papua.
Seruan Rekonsiliasi
Tokoh agama Papua, Pastor John Bunay, menilai rasisme yang berulang kali terjadi menjadi luka mendalam bagi masyarakat Papua. Ia menegaskan konflik semacam ini seharusnya diselesaikan dengan rekonsiliasi, bukan semata-mata pendekatan keamanan.
“Kalau hanya ditangani dengan penangkapan, luka itu tidak pernah sembuh. Solusinya adalah rekonsiliasi adat, agama, dan pemerintah duduk bersama mencari jalan keluar,” ujarnya.
Untuk meredam situasi, aparat menambah kekuatan pasukan di Yalimo sekaligus menyalurkan bantuan logistik bagi pengungsi. Meski demikian, ketegangan masih terasa dan sebagian warga memilih bertahan di pengungsian sambil menunggu jaminan keamanan.(red.al)
Posting Komentar