Kediri, penanuswantara.online — Suara desis api biru dari kompor gas kini menggantikan kepulan asap kayu bakar di Kampung Tenun Ikat, Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Api biru yang stabil dari pembakaran Liquefied Petroleum Gas (LPG) ini menjadi saksi perubahan besar yang dialami para perajin selama dua dekade terakhir.
Dulu, aroma asap kayu bakar memenuhi setiap sudut rumah perajin, menjadi ciri khas kampung pengrajin kain tenun ikat ini. Kini, udara lebih bersih, dan kain-kain yang dihasilkan pun lebih berwarna cerah. Peralihan dari kayu bakar ke LPG bukan sekadar perubahan bahan bakar, melainkan langkah nyata menuju efisiensi dan keberlanjutan energi.
Transisi Energi yang Mengubah Produksi
Syaifudin Zuhri (37), salah satu perajin di gerai tenun Medali Mas milik Siti Ruqoyah (56), mengingat betul masa-masa sulit sebelum 2017 ketika masih menggunakan kayu bakar.
“Dulu, untuk satu kali perebusan saja bisa selisih setengah jam dibanding pakai gas. Kadang kayunya basah, apinya susah menyala, panasnya tidak stabil. Sekarang, dengan LPG, prosesnya lebih cepat dan warnanya juga lebih tajam,” ungkap Zuhri saat ditemui awal Oktober lalu.
Air panas dari pembakaran LPG digunakan untuk mencampur zat pewarna benang. Stabilitas panas menjadikan warna kain lebih kuat dan meresap sempurna. Kini, Zuhri bisa melakukan hingga 16 kali perebusan dalam sehari—dua kali lebih banyak dibanding ketika masih memakai kayu.
Istrinya, Nuraini (35), yang bertugas pada tahap colet atau pewarnaan kombinasi, juga merasakan manfaat besar dari penggunaan LPG. “Sekarang lebih cepat dan tidak pengap seperti dulu. Dulu asapnya sampai memenuhi ruangan,” ujarnya.
Efisien, Sehat, dan Ramah Lingkungan
Peralihan ini bukan hanya soal kecepatan produksi, tapi juga kesehatan dan ekonomi. Para perajin tidak perlu lagi membeli kayu setiap minggu, sementara satu tabung gas bisa digunakan untuk beberapa kali produksi.
“Kalau dulu kayu bakar bisa habis Rp10 ribu sekali pakai, LPG hanya sekitar setengahnya. Selain itu, lingkungan juga jadi bersih. Tidak ada lagi abu atau limbah pembakaran,” terang Siti Ruqoyah, generasi tertua di Kampung Tenun Ikat yang masih aktif menenun.
Ia juga mengenang masa awal perubahan energi di tahun 2007, saat pemerintah mulai menggencarkan konversi minyak tanah ke LPG. “Awalnya sulit beradaptasi, tapi setelah dijalani ternyata jauh lebih hemat dan praktis,” ujarnya.
Kini, dengan panas api biru yang stabil, kualitas warna kain meningkat. Wastra khas Kediri ini bahkan pernah dikenakan Presiden Joko Widodo saat pembukaan Trade Expo Indonesia ke-37 tahun 2022.
“Seperti bikin kue, api harus pas supaya hasilnya sempurna. Begitu juga dengan kain. Api yang stabil bikin warnanya lebih hidup,” kata Siti sambil terus menenun motif Wajik Tirto, pesanan seragam sekolah tahun 2026.
Ekonomi dan Pemberdayaan yang Menyala
Medali Mas kini memiliki 50 Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) aktif. Dari hanya lima alat di awal, kapasitas produksi meningkat tajam seiring efisiensi energi. Kini, sekitar 15 perajin masih bertahan di kampung ini, sebagian besar merupakan ibu rumah tangga yang bekerja dari rumah.
Salah satunya Mira (35), yang sudah bekerja sejak tahun 2000-an. Dalam delapan jam kerja, ia mampu menenun satu setengah potong kain berukuran 2,5 meter. “Saya bersyukur bisa bantu ekonomi keluarga. Sekarang pendapatan cukup untuk kebutuhan sehari-hari,” ujarnya sambil tersenyum.
Ada pula Umaha Tikum (53), pekerja lama yang kini lebih memilih mengerjakan tahap pengikatan benang di rumah. “Sekarang satu bak bisa dapat Rp40 sampai Rp60 ribu, tergantung tingkat kerumitannya. Cukup untuk membantu keluarga,” tuturnya.
Menurut Siti, tumbuhnya kembali ekonomi para perajin pasca-pandemi Covid-19 menjadi bukti bahwa transisi energi turut memperkuat UMKM lokal. “Alhamdulillah, sekarang pesanan mulai ramai lagi. Bahkan kami sedang kerjakan 12.000 potong seragam SD dan SMP di Kota Kediri,” ujarnya lega.
Didukung Pertamina dan Pemerintah Daerah
Area Manager Communication, Relations, dan CSR PT Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus, Ahad Rahedi, memastikan pasokan LPG untuk masyarakat Kota Kediri aman, mencapai 17.920 tabung per hari. “Kami juga menyalurkan tambahan fakultatif pada momen tertentu agar kebutuhan masyarakat tetap terpenuhi,” jelasnya.
Ahad juga mengapresiasi pelaku UMKM yang mulai beralih ke produk LPG nonsubsidi seperti Bright Gas. “Kesadaran pelaku UMKM untuk tidak mengambil hak subsidi masyarakat kecil adalah langkah positif. Kami mendukung dengan berbagai kemudahan seperti layanan antar dan fasilitas trade-in,” tambahnya.
Selain dukungan energi dari Pertamina, Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul juga mendapat perhatian dari Pemerintah Kota Kediri dan Bank Indonesia, yang membuka akses pasar melalui berbagai pameran seperti FESyar, Karya Kreatif Indonesia (KKI), dan Dhoho Street Fashion.
Kini, wastra tenun ikat Bandar Kidul tak hanya menjadi kebanggaan warga Kediri, tapi juga simbol keberhasilan UMKM dalam beradaptasi dengan energi bersih dan berkelanjutan.
“Kalau dulu asap kayu bakar memenuhi udara, sekarang warna kain kami yang memenuhi ruang—lebih cerah, lebih hidup,” tutup Siti penuh semangat.(red.al)

Posting Komentar