NEW YORK, penanuswantara.online – Desakan agar hak veto yang dimiliki lima negara anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dihapus atau dibatasi kembali mencuat dalam Sidang Umum PBB ke-80 di New York, Amerika Serikat. Hak veto dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi dunia saat ini dan justru kerap menjadi penghalang dalam penyelesaian konflik internasional.
Malaysia menjadi salah satu negara yang paling vokal menyerukan reformasi tersebut. Menteri Luar Negeri Malaysia, Datuk Seri Mohamad Hasan, mengecam penggunaan hak veto yang selama ini sering menghambat langkah PBB dalam menghentikan kekerasan Israel terhadap Palestina.
“Kekejaman mungkin dimulai dengan Palestina, tetapi tentu saja tidak akan berhenti di Palestina. Semakin berbahayanya situasi di Timur Tengah akan dirasakan dampaknya oleh seluruh dunia,”
ujar Mohamad, dikutip dari Bernama, Minggu (28/9/2025).
Mohamad menegaskan bahwa advokasi solusi dua negara saja tidak cukup. Menurutnya, PBB harus menjatuhkan sanksi tegas kepada Israel dan memastikan pembangunan negara Palestina yang merdeka.
Soroti 80 Tahun PBB dan 77 Tahun Krisis Palestina
Mohamad mengkritik keras sikap PBB yang dinilai membiarkan kekejaman Israel berlangsung selama puluhan tahun.
“Delapan puluh tahun PBB berdiri, tujuh puluh tujuh tahun pembersihan etnis Palestina. Jika kita gagal menyelesaikan masalah ini, masyarakat dunia akan kehilangan kepercayaan pada kita dan tatanan internasional,”
tegasnya.
Ia menyebut tiga reformasi mendesak yang harus dilakukan PBB agar tetap relevan. Salah satunya adalah membatasi bahkan menghapus hak veto yang selama ini dimiliki lima anggota tetap DK PBB: Amerika Serikat, Rusia, China, Prancis, dan Inggris.
“Hak veto harus ditantang setiap kali digunakan untuk menghalangi keadilan, terutama dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Mohamad.
Menurutnya, kekuasaan seharusnya kembali ke Majelis Umum PBB sebagai lembaga yang lebih inklusif dan merepresentasikan suara dunia.
Desakan Gunakan Resolusi 377A
Mohamad juga mendesak agar PBB memanfaatkan Resolusi 76/272 tentang Inisiatif Veto dan Resolusi 377A: Bersatu untuk Perdamaian sebagai dasar untuk melawan dominasi hak veto.
“Kita tidak boleh lagi diam menerima penolakan atas suara kolektif kita. Veto harus dipertanyakan dan dilawan agar Dewan Keamanan bebas dari kelumpuhan memalukan ini,” ujarnya.
Singapura Dukung Pembatasan Hak Veto
Seruan serupa juga datang dari Singapura. Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan, menyatakan bahwa penggunaan hak veto belakangan ini semakin sinis dan destruktif, terutama dalam konflik besar seperti Gaza dan Ukraina.
“Peningkatan penggunaan hak veto yang sinis oleh anggota P5 (lima negara tetap DK PBB) harus segera dibatasi,”
tegas Balakrishnan, dikutip dari Channel News Asia.
Menurutnya, PBB harus melakukan reformasi agar lebih representatif dan inklusif, mencerminkan kondisi dunia saat ini yang sudah jauh berbeda dibandingkan pasca-Perang Dunia II.
“Tatanan dunia setelah perang sudah berakhir. Distribusi kekuatan ekonomi, teknologi, dan militer kini sangat berbeda dengan tahun 1945,” jelasnya.
Singapura juga menyoroti kasus terbaru ketika Amerika Serikat memveto resolusi gencatan senjata di Gaza untuk keenam kalinya. Padahal, 14 negara lain mendukung resolusi tersebut, yang juga meminta pembebasan sandera. AS beralasan resolusi itu tidak mengecam Hamas dan tidak mengakui hak Israel untuk membela diri.
Krisis Gaza Memicu Seruan Reformasi
Sejak 7 Oktober 2023, Israel melancarkan serangan militer besar-besaran di Gaza yang diklaim untuk menghancurkan Hamas. Hingga kini, lebih dari 65.000 warga Palestina tewas, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Selain korban jiwa, serangan tersebut juga menghancurkan infrastruktur Gaza dan memicu kelaparan akut di wilayah itu.
“Selama hak veto masih digunakan untuk melindungi pelaku pelanggaran HAM, seperti dalam kasus Palestina, PBB tidak akan pernah bisa menjadi suara keadilan dunia,”
kata Balakrishnan.
Singapura bahkan memperingatkan akan meninjau kembali sikap diplomatiknya terhadap Israel jika negara itu terus menghalangi solusi dua negara.
Tuntutan Global untuk PBB yang Lebih Adil
Desakan Malaysia dan Singapura menambah tekanan internasional agar PBB melakukan reformasi struktural besar-besaran. Hak veto yang awalnya dimaksudkan untuk menjaga stabilitas global kini justru dianggap menjadi alat politik segelintir negara kuat.
Jika reformasi tidak dilakukan, kata Mohamad, PBB akan semakin kehilangan relevansi dan kepercayaan publik internasional.
“PBB harus menjadi suara hati nurani dunia, bukan alat politik negara-negara besar,”
tutup Mohamad.(RED.AL)
Posting Komentar