JAKARTA, penanuswantara.online – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menjadi sorotan publik setelah ribuan pelajar dilaporkan mengalami keracunan dalam kurun waktu delapan bulan terakhir. Kasus ini memicu kekhawatiran akan lemahnya pengawasan terhadap program unggulan Presiden Prabowo Subianto, yang seharusnya menjadi langkah strategis dalam meningkatkan gizi generasi muda.
Dosen Ilmu Gizi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Pramudya Kurnia, S.T.P., M.Agr., menilai peristiwa keracunan ini harus menjadi peringatan serius sekaligus momentum untuk evaluasi menyeluruh.
“Keracunan yang terjadi bukan hanya masalah teknis, tapi juga menyangkut sistem pengelolaan pangan yang belum terkontrol dengan baik. Pemerintah harus segera turun tangan dan melakukan perbaikan total,” tegas Pramudya, dikutip dari laman ums.ac.id.
Dorong Dinas Kesehatan Turun Langsung
Pramudya mendesak agar pemerintah melibatkan dinas kesehatan di seluruh daerah dalam proses evaluasi program MBG.
“Dinas kesehatan sebaiknya hadir langsung di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi teknis yang jelas,” ujarnya.
Menurutnya, lemahnya pengawasan dalam tata laksana penyediaan makanan skala besar menjadi faktor utama penyebab terjadinya keracunan.
Ia menekankan perlunya audit menyeluruh, mulai dari pemeriksaan bahan baku dan vendor penyedia, pelatihan tenaga dapur, hingga sertifikasi higienitas untuk memastikan standar keamanan pangan benar-benar terpenuhi.
“Pelatihan tentang higienitas dan keamanan pangan wajib dilakukan. Pihak penyedia juga harus menerapkan sistem checklist bahan baku, termasuk memperhatikan tanggal kedaluwarsa sebelum diolah,” tandasnya.
Faktor Penyebab Keracunan
Pramudya menjelaskan, keracunan dalam program MBG dapat dipicu oleh beberapa faktor utama, di antaranya:
Kontaminasi mikrobiologis
Dapat terjadi sejak bahan pangan dipanen, saat pengiriman ke dapur MBG, hingga proses penyajian.
Produk hewani seperti ayam, sapi, dan ikan memiliki risiko tinggi karena kandungan air dan protein yang mudah menjadi media pertumbuhan bakteri.
Kontaminasi bahan kimia
Akibat residu pestisida pada sayuran atau buah.
Bisa juga karena penggunaan bahan tambahan pangan yang berlebihan dan tidak sesuai aturan.
Kesalahan prosedur pengolahan
Mulai dari alat masak yang tidak steril, penggunaan air yang tercemar, penyimpanan bahan yang tidak terkontrol, hingga proses distribusi yang terlalu lama.
“Badan Gizi Nasional sudah mengatur bahwa jarak waktu maksimal antara selesai memasak hingga dikonsumsi tidak boleh lebih dari empat jam,” jelasnya.
Saran untuk Pencegahan ke Depan
Agar insiden serupa tidak terulang, Pramudya menyarankan penerapan standar ketat dalam setiap tahap penyediaan makanan.
Pemisahan bahan pangan:
Bahan segar seperti daging harus disimpan terpisah dari bahan lain untuk mencegah kontaminasi silang.Proses distribusi yang cepat:
Jarak tempuh dari dapur MBG ke sekolah tidak boleh lebih dari 30 menit untuk menjaga kualitas makanan.Pengemasan yang tepat:
Wadah makanan sebaiknya ditutup setelah suhu turun agar tidak mempercepat pembusukan akibat uap air yang terperangkap.
“Satu kasus keracunan saja sudah harus ditangani dengan sangat serius, karena ini menyangkut keselamatan generasi penerus bangsa,” tegas Pramudya.
Pentingnya Komitmen Pemerintah
Pramudya menekankan, keberhasilan program MBG tidak hanya diukur dari jumlah penerima manfaat, tetapi juga keamanan dan kualitas makanan yang diberikan.
Keseriusan pemerintah pusat dalam melakukan evaluasi akan menjadi kunci agar tujuan awal program tetap tercapai, yaitu mewujudkan generasi yang sehat, cerdas, dan kuat.
“Jika masalah keamanan pangan tidak ditangani dengan tepat, tujuan mulia program MBG bisa berbalik menjadi ancaman kesehatan massal, dan ini tentu sangat merugikan negara,” pungkasnya.(red.al)
Posting Komentar