Jakarta, penanuswantara.online — Skandal proyek pengendalian banjir fiktif memicu gelombang kemarahan rakyat Filipina. Ribuan warga kembali turun ke jalan pada Minggu (21/9/2025) untuk berunjuk rasa, menuntut akuntabilitas pemerintah atas dugaan penyelewengan dana publik bernilai miliaran dolar AS.
Demonstrasi besar digelar di Taman Luneta, Manila, dengan sekitar 13.000 orang menghadiri aksi tersebut. Protes ini berakar dari kekecewaan terhadap proyek banjir yang diduga hanya proyek “hantu” namun menelan anggaran triliunan rupiah.
Kemarahan publik kian memuncak sejak Presiden Ferdinand Marcos Jr. menyinggung kasus ini dalam pidato kenegaraan pada Juli 2025, usai banjir besar yang menewaskan banyak korban. Marcos sendiri menyatakan memahami protes rakyat, meski ia menyerukan agar aksi tetap damai. Tentara bahkan ditempatkan dalam status siaga merah untuk mengantisipasi potensi kerusuhan.
“Ada kalanya saya sendiri harus mengarungi banjir,” ujar Aly Villahermosa, mahasiswa keperawatan berusia 23 tahun.
“Kalau dana bisa dikuras untuk proyek-proyek fiktif, kenapa sektor kesehatan justru kekurangan anggaran?” tambahnya, menuding skandal ini sebagai bentuk pencurian dana publik yang memalukan.
Tokoh aktivis kiri Teddy Casino, pimpinan aliansi Bagong Alyansang Makabayan, menegaskan demonstran tak hanya menuntut pengembalian dana, tetapi juga hukuman tegas.
“Korupsi harus dilawan dengan aksi massa agar pemerintah benar-benar menjalankan kewajibannya,” katanya.
Gelombang protes diperkirakan akan terus membesar, dengan massa dijadwalkan melakukan long march ke EDSA, jalan ikonik yang menjadi lokasi Revolusi Kekuatan Rakyat 1986 yang menggulingkan Ferdinand Marcos Sr.
Skandal ini juga mengguncang politik Filipina. Ketua DPR Martin Romualdez, sepupu Presiden Marcos, mengundurkan diri pekan lalu saat penyelidikan berlangsung. Sementara itu, beberapa kontraktor menuding hampir 30 anggota DPR dan pejabat Departemen Pekerjaan Umum serta Jalan Raya (DPWH) menerima suap tunai.
Kementerian Keuangan Filipina memperkirakan kerugian ekonomi akibat skandal ini mencapai 118,5 miliar peso (sekitar US$2 miliar atau Rp33 triliun) dalam periode 2023–2025. Namun, Greenpeace menilai angkanya bisa jauh lebih besar, mendekati US$18 miliar (Rp299 triliun).
Di daerah terdampak banjir, warga masih merasakan langsung akibat dari proyek-proyek fiktif tersebut. Di Bulacan, provinsi utara Manila, jurnalis AFP mendapati penduduk berjalan di genangan air keruh hanya dengan sepatu bot seadanya.
Elizabeth Abanilla, pensiunan berusia 81 tahun, menilai baik politisi maupun kontraktor sama-sama patut disalahkan.
“Mereka seharusnya tidak menerima pembayaran sebelum pekerjaan selesai. Keduanya jelas bersalah,” tegasnya.(red.al)
Posting Komentar