KUHAP Baru Sah Jadi UU, Pakar Soroti Pasal Krusial yang Dinilai Perlu Diawasi Ketat

  


Jakarta, penanuswantara.online  – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang pada Rapat Paripurna kedelapan masa sidang II, Selasa (17/11). Regulasi baru ini akan diberlakukan mulai 2 Januari 2026, beriringan dengan penerapan KUHP yang disahkan pada 2022.

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, dalam pidatonya menyebut KUHAP baru diperlukan untuk memperkuat penegakan hukum dan menjadi pedoman formil dalam proses peradilan pidana. Ia menegaskan bahwa KUHAP terbaru akan menjadi pasangan regulatif KUHP, keduanya mulai berlaku serentak awal 2026.

Meski demikian, pengesahan KUHAP menuai kritik tajam dari kelompok masyarakat sipil. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP memetakan sedikitnya delapan persoalan krusial yang dinilai berpotensi memperluas ruang penyalahgunaan kewenangan aparat.

Salah satu sorotan utama berada pada Pasal 5 yang memungkinkan penyelidik—atas perintah penyidik—melakukan penangkapan, larangan bepergian, penggeledahan, hingga penahanan meskipun kasus masih berada dalam tahap penyelidikan.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai aturan tersebut dapat membuka celah tindakan sewenang-wenang.
“Ketentuan ini membuat seseorang bisa ditahan kapan saja, bahkan sebelum ada kepastian tindak pidana,” ujarnya, Kamis (20/11).

Namun, Habiburokhman membantah kekhawatiran tersebut. Menurutnya, ketentuan itu diperlukan untuk mengatasi minimnya jumlah penyidik. “Penyelidik tetap bekerja berdasarkan perintah penyidik. Tidak ada wewenang yang berdiri sendiri,” tegasnya.

Pasal mengenai undercover buying dan controlled delivery dalam Pasal 16 juga menuai kritik. Metode penyamaran yang awalnya hanya untuk penegakan hukum narkotika kini dapat diterapkan secara umum.

Fickar menilai perluasan ini berpotensi dijadikan alat pemerasan atau jebakan hukum.
“Jika diterapkan untuk tindak pidana umum, aparat bisa saja menciptakan situasi yang mendorong seseorang melakukan tindakan kriminal,” katanya.

Sebaliknya, Habiburokhman mengklaim terdapat batasan tegas dalam bagian penjelasan KUHAP yang menyebut metode tersebut hanya digunakan untuk investigasi khusus, bukan untuk semua tindak pidana.

Pasal mengenai restorative justice juga mendapat perhatian. Dalam KUHAP baru, penyelesaian melalui keadilan restoratif dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan, sebelum adanya kepastian pelanggaran pidana.

Fickar menilai hal ini dapat membuka ruang negosiasi terselubung dan praktik suap.
“Ruang ini memungkinkan munculnya jual beli perkara antara aparat dan pihak yang terlibat,” katanya.

Habiburokhman kembali membantah, menegaskan bahwa keadilan restoratif dilaksanakan secara sukarela, tanpa paksaan atau tekanan dari pihak mana pun.

Kritik juga datang dari pakar KIKA, Herdiansyah Hamzah, terkait Pasal 7 dan 8 yang menempatkan seluruh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik khusus di bawah koordinasi Polri.

“Sentralisasi seperti ini mengurangi mekanisme check and balance dan membuat proses hukum rentan dikendalikan satu institusi,” jelas Herdiansyah.

DPR menegaskan bahwa konsep yang digunakan adalah differentiated functional system—penyidik utama ada pada Polri, dengan pengecualian pada Kejaksaan, KPK, dan TNI sesuai ketentuan pasal.

Pasal 105, 112A, 132A, dan 124 memungkinkan penggeledahan, penyitaan, pemblokiran, hingga penyadapan dilakukan tanpa izin hakim dalam kondisi mendesak. Hal ini dinilai membahayakan kebebasan akademik dan hak atas privasi.

Herdiansyah menyebut aturan tersebut dapat mengancam kerahasiaan data penelitian dan sumber informasi ilmiah.

Wamenkumham Eddy Hiariej menjelaskan bahwa izin hakim tetap wajib dimintakan, dan tindakan mendesak hanya boleh dilakukan dalam batas waktu lima hari sebelum penetapan pengadilan diterbitkan.

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menyimpulkan bahwa KUHAP baru memperluas jangkauan tindakan paksa dan penyamaran aparat, sehingga setiap orang berpotensi terdampak.

“KUHAP baru memberi ruang bagi aparat untuk menangkap, menahan, menyadap, dan menggeledah berdasarkan subjektivitas, tanpa pengawasan hakim yang memadai,” ujarnya.

Menurut Isnur, pengaturan baru ini memperlebar celah penyalahgunaan kekuasaan karena tidak adanya mekanisme kontrol ketat seperti habeas corpus.

Pengesahan KUHAP baru menandai langkah besar reformasi hukum acara pidana Indonesia. Namun, dengan banyaknya pasal yang dinilai mengandung potensi penyalahgunaan, publik dan para pemangku kepentingan menuntut agar penerapannya diawasi secara ketat demi mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang dan menjaga prinsip negara hukum.(red.al)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama