Jakarta, penanuswantara.online – Amerika Serikat resmi menetapkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro beserta sekutu dekatnya sebagai bagian dari organisasi teroris asing. Langkah ini memberi ruang lebih besar bagi pemerintahan Donald Trump untuk mengambil tindakan tambahan, termasuk penerapan sanksi baru terhadap aset dan infrastruktur yang terkait dengan Caracas.
Keputusan tersebut mengategorikan jaringan bernama Cartel de los Soles—istilah yang oleh pakar lebih sering dikaitkan dengan dugaan korupsi pejabat pemerintah ketimbang kartel narkotika terorganisir—sebagai organisasi teroris asing. Status ini merupakan salah satu instrumen kontra-terorisme paling keras milik Departemen Luar Negeri AS.
Namun para ahli hukum menegaskan bahwa penetapan ini tidak serta-merta memberi dasar hukum bagi penggunaan kekuatan mematikan.
Pintu Aksi Militer Terbuka Lebih Lebar
Meski demikian, sejumlah pejabat di pemerintahan Trump menyebut status tersebut memperluas opsi taktis dan militer AS dalam menangani Venezuela. Menurut laporan CNN International, Cartel de los Soles merujuk pada jaringan tidak terpusat di tubuh militer Venezuela yang diduga terhubung dengan perdagangan narkoba.
Maduro berulang kali membantah tuduhan keterlibatan dalam aktivitas ilegal tersebut, sementara pemerintahannya juga menyebut keberadaan kartel itu sebagai klaim yang “tidak berdasar”.
Penetapan ini muncul saat AS telah menurunkan lebih dari selusin kapal perang dan sekitar 15.000 personel militer dalam operasi Operation Southern Spear. Dalam operasi tersebut, militer AS dilaporkan telah menewaskan puluhan orang dalam serangan terhadap kapal-kapal target yang diklaim terlibat jaringan antinarkotika.
Trump dilaporkan telah menerima paparan berbagai opsi aksi terhadap Venezuela, mulai dari serangan terhadap fasilitas pemerintah, operasi khusus, hingga pilihan untuk tidak mengambil langkah militer sama sekali.
Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Dan Caine dan penasihat seniornya, David Isom, dijadwalkan mengunjungi Puerto Rico untuk menemui pasukan yang terlibat dalam operasi kawasan Karibia.
Penolakan Publik Meningkat
Di tengah manuver militer dan diplomatik, opini publik AS justru bergerak ke arah sebaliknya. Jajak pendapat CBS News/YouGov menunjukkan 70% warga Amerika tidak mendukung intervensi militer AS di Venezuela. Sementara 76% responden menilai pemerintah belum memberikan kejelasan terkait tujuan dan batasan tindakan tersebut.
Secara resmi, Washington menyatakan operasi di Karibia bertujuan menekan migrasi ilegal dan memutus jalur narkotika. Namun beberapa pejabat mengakui bahwa perubahan rezim dapat menjadi “konsekuensi tambahan” dari tekanan tersebut.
Caracas: Tuduhan Tak Masuk Akal
Pemerintah Venezuela mengecam keras pelabelan tersebut. Dalam pernyataan resminya, Caracas menyebut langkah AS sebagai “rekayasa konyol” dan meyakini bahwa manuver itu akan berakhir sama seperti tekanan-tekanan sebelumnya—“gagal total”.
Meski retorika memanas, Trump mengisyaratkan ruang dialog. Ia mengatakan bahwa Maduro “ingin berbicara” dan membuka kemungkinan pertemuan “pada waktu tertentu”.
Sementara itu, unjuk kekuatan AS di perairan dekat Venezuela terus berlanjut. Dalam hitungan jam, sedikitnya enam pesawat militer AS terlihat melintasi kawasan tersebut, termasuk jet tempur F/A-18E, pesawat pembom B-52, dan pesawat pengintai.
Dampak ke Penerbangan Sipil
Ketegangan juga merembet ke sektor penerbangan. Reuters melaporkan tiga maskapai internasional membatalkan penerbangan dari Venezuela setelah FAA mengeluarkan peringatan mengenai kondisi “berpotensi berbahaya” di wilayah udara negara itu.(red.al)

Posting Komentar