Jakarta, 5 November 2025, penanuswantara.online — Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), menyuarakan penolakannya terhadap rencana pemerintah yang akan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. Menurutnya, langkah tersebut tidak pantas mengingat banyaknya catatan kelam yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru.
“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Gus Mus saat ditemui di kediamannya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah, sebagaimana dikutip dari NU Online, Rabu (5/11/2025).
Dalam pernyataannya, Gus Mus mengungkapkan bahwa pada masa kekuasaan Soeharto, banyak ulama pesantren dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang mengalami perlakuan tidak adil bahkan penindasan.
“Banyak kiai yang dimasukkan ke sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, bahkan yang sudah terpasang banyak yang dirubuhkan oleh aparat daerah,” tuturnya.
Ia juga menambahkan, “Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar.”
Menurut Gus Mus, tindakan-tindakan represif tersebut menjadi bukti nyata bahwa masa Orde Baru meninggalkan luka mendalam bagi warga NU. Ia juga menyinggung kisah KH Sahal Mahfudh yang menolak ajakan Golkar Jawa Tengah untuk menjadi penasihat partai tersebut.
Lebih lanjut, mantan Rais Aam PBNU periode 2014–2015 ini menegaskan bahwa banyak ulama dan pejuang bangsa yang tidak pernah mengajukan gelar pahlawan, meski jasanya besar bagi negeri ini.
“Banyak kiai yang dulu berjuang, tapi keluarganya tidak ingin mengajukan gelar pahlawan. Alasannya agar amal kebaikannya tetap ikhlas di hadapan Allah, tidak berkurang karena riya’,” ucap Gus Mus.
Gus Mus juga menyayangkan sikap sebagian kalangan yang mendukung pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto, termasuk jika ada dari kalangan NU sendiri.
“Orang NU kalau ikut-ikutan mendukung Soeharto jadi pahlawan, berarti tidak ngerti sejarah,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa di era Orde Baru, banyak peristiwa tragis yang menimpa warga dan kiai NU. Salah satunya adalah Tragedi Losarang, Indramayu, tahun 1971, di mana basis massa Partai NU mengalami intimidasi dan kekerasan menjelang Pemilu. Laporan Panda Nababan di Harian Sinar Harapan menggambarkan masjid dibakar, rumah-rumah hancur, dan warga yang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka secara tiba-tiba.
Selain Losarang, Gus Mus juga menyinggung peristiwa pembunuhan Kiai Hasan Basri di Brebes pada tahun 1977. Harian Pelita kala itu menulis bahwa rumah sang kiai digedor, dirinya dipukuli, lalu tewas dengan dugaan yang direkayasa sebagai bunuh diri.
Tak berhenti di situ, pembakaran lebih dari 140 rumah di Asembagus, Situbondo, juga tercatat sebagai salah satu bentuk kekerasan politik menjelang Pemilu 1977.
Pada periode berikutnya, Muktamar ke-29 NU di Cipasung (1994) pun menjadi ajang tekanan politik dari Orde Baru. Pemerintah kala itu berupaya mengintervensi pemilihan pimpinan NU dengan mendorong tokoh tertentu, bahkan berani meminta KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk mundur dari kursi Ketua Umum PBNU melalui perantara pejabat tinggi negara.
Gus Mus menegaskan, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto justru dapat melukai hati para korban dan keluarga yang pernah merasakan pahitnya represi politik pada masa itu.
“Kalau kita mudah melupakan sejarah, berarti kita juga menafikan penderitaan para kiai dan rakyat kecil yang dizalimi. Jangan sampai kezaliman diberi penghormatan,” tegasnya menutup pernyataan.(red.al)

Posting Komentar